Mukadimah
Siyasah (politik) adalah salah satu warisan para nabi, sebab Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Adalah Bani Israil, para nabi telang membimbing mereka.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah ra.)
Kalimat (mereka membimbing) satu akar dengan (politik) yaitu dari kata – saasa, yang artinya mengatur, menjaga, memelihara, dan mengurus. Kalimat – saasa al Qauma artinya mengatur mereka dan mengurus urusan mereka. Al Munjid wal I’lam hal.362. Dari sini, kita fahami bahwa siyasah adalah upaya membimbing, mengurus, mengatur, memelihara, dan menjaga manusia. Jadi, pada dasarnya, siyasah -sesuai dengan makna bahasanya- adalah perbuatan mulia dan agung, sebab ia pernah dilakukan oleh para nabi ‘alaihimus salam. Tentunya itu adalah siyasah syar’iyyah (politik syar’i) yang acuannya adalah Al Qur’an, As Sunnah, sirah nabawiyah, ijma’ dan ijtihad ulama.
“Adalah Bani Israil, para nabi telang membimbing mereka.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah ra.)
Kalimat (mereka membimbing) satu akar dengan (politik) yaitu dari kata – saasa, yang artinya mengatur, menjaga, memelihara, dan mengurus. Kalimat – saasa al Qauma artinya mengatur mereka dan mengurus urusan mereka. Al Munjid wal I’lam hal.362. Dari sini, kita fahami bahwa siyasah adalah upaya membimbing, mengurus, mengatur, memelihara, dan menjaga manusia. Jadi, pada dasarnya, siyasah -sesuai dengan makna bahasanya- adalah perbuatan mulia dan agung, sebab ia pernah dilakukan oleh para nabi ‘alaihimus salam. Tentunya itu adalah siyasah syar’iyyah (politik syar’i) yang acuannya adalah Al Qur’an, As Sunnah, sirah nabawiyah, ijma’ dan ijtihad ulama.
Apa Kata Ulama?
Para
ulama kita telah banyak membicarakan masalah politik dan kenegaraan
dalam kitab-kitab mereka. Baik terintegrasi dengan pembahasan lainnya,
seperti kitab-kitab fiqih besar yang membahas imarah dan imamah, atau
kitab tersendiri seperti Ahkamus Sulthaniyah oleh Imam al Mawardy,
Ahkamus Sulthaniyah juga oleh Imam Abu Ya’la al Farra’, Siyasah
Syar’iyyah fi Ishlahir Ra’i war Ra’iyyah dan Al Hisbah oleh Imam Ibnu
Taimiyah, Thuruq al Hukmiyah oleh Imam Ibnu Qayyim al Jauziyah, Min
Fiqhid Daulah oleh Syaikh Yusuf al Qaradhawy, dan lain-lain. Artinya,
para imam kita sangat perhatian terhadap masalah politik dan kenegaraan.
Seorang khalifatur rasyid, Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu pernah
berkata, “Kebatilan yang tidak bisa dihilangkan oleh kitabullah, akan
Allah hilangkan melalui pedang penguasa.”
‘Alim Rabbani al ‘Allamah Ibnul Qayyim menukil ucapan Imam Abu Wafa
bin ‘Aqil al Hambali bahwa siyasah merupakan tindakan atau perbuatan
yang dengannya seseorang lebih dekat kepada kebaikan dan lebih jauh dari
kerusakan, selama politik itu tidak bertentangan dengan syara’.
Imam
Ibnul Qayyim dalam Thuruq al Hukmiyah juga berkata, “Sesungguhnya
politik yang adil tidak bertentangan dengan syara’, bahkan sesuai dengan
ajarannya dan merupakan bagian darinya.”
Hujjatul Islam, Imam al Ghazaly dalam Al Ihya’ berkata, “Kekuasaan
dan agama adalah saudara kembar, agama sebagai fondasi dan kekuasaan
sebagai penjaga. Sesuatu tanpa fondasi akan runtuh dan sesuatu tanpa
penjaga akan lenyap.”
Imam Ahmad bin Hambal berkata, ‘Fitnah (kekacauan) akan terjadi jika tidak ada pemimpin yang mengatur urusan orang banyak.”
Imam
Abu Hasan al Mawardi dalam AhkamusSulthaniyah berkata, “Imamah
ditegakkan sebagai salah satu sarana untuk meneruskan Khilafatun
Nubuwahdalam rangka memelihara agama dan mengatur urusan dunia.
Menegakkannva di tengah-tengah umat adalah wajib berdasarkan ijma’ bagi
yang berwenang untuk itu.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- dalam Siyasah
Syar’iyyah-nya : “Wajib diketahui bahwa penguasaan terhadap urusan umat,
termasuk kewajiban agama terbesar, bahkan agama tidak akan tegak tanpa
adanya penguasaan terhadap urusan umat ini. Sesungguhnya, kemaslahatan
anak manusia hanya akan terwujud jika mereka hidup saling berkumpul,
sebab satu sama lain saling membutuhkan. Dan tentunya, mereka harus
memiliki seorang pemimpin pada saat mereka berkumpul menjadi satu”.
Nabi
bersabda: “Jika ada tiga orang melakukan safar (bepergian), maka
hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antaranya menjadi amir
(pemimpin).” (HR. Abu Daud, dari Abu Said dan Abu Hurairah)
Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnadnya, dari Abdullah bin Amr,
sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Tidak halal
bagi tiga orang yang berada di tengah padang sahara, melainkan mereka harus mengangkat salah seorang di antara mereka sebagai amir (pemimpin).”
Melalui (kedua) hadits di atas, Nabi ASW menetapkan perintah untuk
mengangkat seorang amir dalam sebuah perkumpulan kecil yang hendak
melakukan safar. Hal itu memberikan peringatan akan perlunya mengangkat
seorang amir dalam segala macam perkumpulan apapun.
Di sisi lain, Allah juga telah menetapkan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, tentu hal itu tidak akan terwujud tanpa adanya kekuatan dan kekuasaan. Demikian pula seluruh kewajiban lain seperti jihad, keadilan, pelaksanaan haji, shalat jum’at, hari raya, pembelaan terhadap orang-orang yang terzalimi dan pelaksanaan hukum pidana. Semuanya tiada akan terwujud dengan baik tanpa adanya kekuatan dan kekuasaan.
Di sisi lain, Allah juga telah menetapkan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, tentu hal itu tidak akan terwujud tanpa adanya kekuatan dan kekuasaan. Demikian pula seluruh kewajiban lain seperti jihad, keadilan, pelaksanaan haji, shalat jum’at, hari raya, pembelaan terhadap orang-orang yang terzalimi dan pelaksanaan hukum pidana. Semuanya tiada akan terwujud dengan baik tanpa adanya kekuatan dan kekuasaan.
Itulah mengapa diriwayatkan dalam sebuah hadits, “Seorang sultan
adalah naungan Allah di muka bumi. ” Itulah mengapa dikatakan bahwa,
Enam puluh tahun di bawah penguasa yang zhalim, masih lebih baik dari
pada satu malam tanpa pemimpin.” Pengalaman sudah membuktikan hal
tersebut. Oleh sebab itu para ulama salaf seperti Fudhail bin ‘Iyyadh,
Ahmad bin Hambal, dan lainnya, sampai mengatakan: “Kalau saya punya do’a
yang mustajab tentu akan saya do’akan kebaikan bagi sultan.” Sampai di
sini darl Imam Ibnu Taimiyah.
Ringkasnya, siyasah dengan pemahaman dan paradigma di atas adalah salah satu kewajiban terbesar dalam agama. Wallahu A’lam.
Kenapa Butuh Siyasah Syar’iyyah?
Pada abad-abad fitnah ini, banyak sekali manusia yang mencoba memisahkan Islam dari politik, memisahkan agama dari negara. Menurut mereka agama adalah urusan masing-masing manusia dengan Tuhannya, sedangkan politik dan negara adalah murni urusan manusia.
Pada abad-abad fitnah ini, banyak sekali manusia yang mencoba memisahkan Islam dari politik, memisahkan agama dari negara. Menurut mereka agama adalah urusan masing-masing manusia dengan Tuhannya, sedangkan politik dan negara adalah murni urusan manusia.
Sesungguhnya
ini adalah ideologi gereja, sebab dalam Bible dikatakan “Berikan hak
Tuhan kepada tuhan dan berikan hak Kaisar kepada Kaisar.” Maksudnya
menurut Kristen, agama (hak Tuhan) dan negara (hak Kaisar) memiliki
jalannya sendiri, satu sama lain tidak saling berkaitan. Sayangnya,
ideologi sekuler ini juga diarahkan kepada Islam oleh mereka, dan
berhasil menipu sebagian ‘modernis’ dari kalangan Islam. Mereka selalu
mengaminkan apa-apa yang dikatakan orang barat tentang Islam, tanpa mau
merujuk kepada ajaran Islam yang sebenarnya. Sekalipun merujuk, otak
mereka sudah penuh racun sekulerisme yang sulit diobati. Kecuali bagi
yang Allah berikan hidayah, sehingga lahir sikap objektif dan ilmiah.
Pro-kontra RUU APP adalah bukti sekulerisme masih kuat di negeri ini.
Prokontra ini merupakan tadbir Allah ‘Azza wa Jalla yang ingin
diperlihatkan kepada para da’i, bahwa musuh-musuh da’wah tidak akan
membiarkan Islam menang. Peristiwa ini membuka mata kita, sekaligus
membuka wajah asli musuh-musuh da’wah yang selama ini malu-malu, mereka
adalah salibis, musyrikin , artis pramusyahwat dan seniman cabul ,
feminis yang tidak ‘feminim’, dan Lembaga-lembaga shahibul batil.
Ada beberapa alasan kenapa kita -umat Islam- membutuhkannya:
Ada beberapa alasan kenapa kita -umat Islam- membutuhkannya:
1. Dia adalah kewajiban agama terbesar
2. Sarana menuju Khilafah Islamiyah ‘ala Minhajin Nubuwwah.
3. Sarana menegakkan dan melindungi ajaran agama dan pemeluknya.
4. Sarana untuk mengurus urusan manusia
5. Sarana mengatur hubungan sesama manusia.
Orang
kafir menggunakan sistem hidup mereka sebagai manhaj bernegara, maka
kita lebih berhak untuk itu, sebab memiliki alasan syara’ (yuridis).
Penyimpangan-Penyimpangan
Bukan manusia jika tidak ada penyimpangan, karena itu dibutuhkan nasihat dan arahan untuk mereka, sebab politik Islam tidak pernah menyimpang, mentalitas manusianya yang bisa menyimpang. Politik yang tadinya mulia dan agung berubah menjadi hina dan kotor, lantaran doktrin politik dari luar Islam seperti demokrasi a la barat, machiavelisme, dan lain-lain. Ditambah perilaku politisi busuk yang mengejar harta, kedudukan, serta wanita, dengan menghalalkan segala cara, seperti ngintrik, risywah (sogok), aji mumpung. Selama masih manusia maka potensi terjebak dalam perilaku ini pasti ada, walau ia aktifis partai da’wah, yang berlatar pendidikan umum atau syariah. Sama saja.
Bukan manusia jika tidak ada penyimpangan, karena itu dibutuhkan nasihat dan arahan untuk mereka, sebab politik Islam tidak pernah menyimpang, mentalitas manusianya yang bisa menyimpang. Politik yang tadinya mulia dan agung berubah menjadi hina dan kotor, lantaran doktrin politik dari luar Islam seperti demokrasi a la barat, machiavelisme, dan lain-lain. Ditambah perilaku politisi busuk yang mengejar harta, kedudukan, serta wanita, dengan menghalalkan segala cara, seperti ngintrik, risywah (sogok), aji mumpung. Selama masih manusia maka potensi terjebak dalam perilaku ini pasti ada, walau ia aktifis partai da’wah, yang berlatar pendidikan umum atau syariah. Sama saja.
Berlkut Ini adalah bentuk-bentuk penyimpangan yang bisa (bahkan
sudah) terjadi dalam agenda politik umat Islam, baik penyimpangan
tujuan, paradigma, atau perilaku politik.
Pertama. Menjadikan kekuasaan sebagai tujuan akhir perjuangan.
Tuntutan
mendirikan Daulah Islamiyah seharusnya tidak melupakan kita dari tujuan
asasi da’wah Islam, yaitu ajakan ‘ani’budullaha waj tanibut thaghut
(menyembah Allah dan menjauhi thaghut). Tak ada manfaatnya jika daulah
berdiri atau partai da’wah menang mutlak, namun manusia masih kufur
kepada Allah Azza wa Jalla.
Kedua. Menganggap masalah imamah (kekuasaan) adalah bagian dari ushuluddin (dasar-dasar agama).
Betapa
pun pentingnya masalah ini, namun ia tetap masalah furu’ (cabang) dalam
Islam yang banyak dibahas dalam kajian fiqih. inilah pandangan Ahlus
Sunnah.
Imam Haramain berkata, “Masalah Imamah termasuk masalah furu.’ ” Al ‘Allamah Bukhait al Muthi’i berkata, “Masalah wajibnya mengangkat Imam ‘Aam (imam bagi segenap kaum muslimin), tanpa diragukan lagi adalah masalah furu’ fiqhiyah. Bukan termasuk ushuluddin. Dasarnya adalah ijma’ yang sudah mutawatir sejak zaman sahabat. Hukumnya hanya wajib kifayah.” Hanya Syiah yang mengkategorikannya dalam ushuluddin, Imam Ibnu Taimiyah mengutip ucapan tokoh Syiah Imamiyah, Ibnul Muthahhir al Hulli, dia berkata, ”Amma ba’du. Risalah yang mulia dan makalah yang menyentuh ini mencantumkan tuntutan terpenting dalam hukum Islam dan termasuk masalah kaum muslimin yang sangat agung, yaitu masalah Imamah. Hanya melalui masalah itulah derajat yang mulia dapat diraih. Masalah Imamah termasuk salah sartu rukun iman, yang merupakan sebab seseorang kekal di dalam surga serta terhindar dari murka Allah.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- membantah ucapan itu, katanya, “Sesungguhnya yang berpendapat bahwa masalah Imamah merupakan tuntutan yang paling urgen dalam hukum Islam dan merupakan masalah kaum muslimin yang paling mulia adalah dusta belaka berdasarkan ijma’ kaum muslimin, baik dari kalangan Ahlus Sunnah maupun kalangan Syiah. Bahkan pendapat seperti itu adalah sebuah kekufuran. Sebab masalah Iman kepada Allah dan RasuINya lebih penting daripada masalah Imamah. Hal itu sudah sangat diketahui dalam Dinul Islam. Seorang kafir tidak akan menjadi seorang mu’min sampai ia bersyahadat Laa Ilaaha Illallah wa Anna Muhammadar Rasulullah. Atas dasar itulah Rasulullah memerangi kaum kafir.”
Imam Haramain berkata, “Masalah Imamah termasuk masalah furu.’ ” Al ‘Allamah Bukhait al Muthi’i berkata, “Masalah wajibnya mengangkat Imam ‘Aam (imam bagi segenap kaum muslimin), tanpa diragukan lagi adalah masalah furu’ fiqhiyah. Bukan termasuk ushuluddin. Dasarnya adalah ijma’ yang sudah mutawatir sejak zaman sahabat. Hukumnya hanya wajib kifayah.” Hanya Syiah yang mengkategorikannya dalam ushuluddin, Imam Ibnu Taimiyah mengutip ucapan tokoh Syiah Imamiyah, Ibnul Muthahhir al Hulli, dia berkata, ”Amma ba’du. Risalah yang mulia dan makalah yang menyentuh ini mencantumkan tuntutan terpenting dalam hukum Islam dan termasuk masalah kaum muslimin yang sangat agung, yaitu masalah Imamah. Hanya melalui masalah itulah derajat yang mulia dapat diraih. Masalah Imamah termasuk salah sartu rukun iman, yang merupakan sebab seseorang kekal di dalam surga serta terhindar dari murka Allah.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- membantah ucapan itu, katanya, “Sesungguhnya yang berpendapat bahwa masalah Imamah merupakan tuntutan yang paling urgen dalam hukum Islam dan merupakan masalah kaum muslimin yang paling mulia adalah dusta belaka berdasarkan ijma’ kaum muslimin, baik dari kalangan Ahlus Sunnah maupun kalangan Syiah. Bahkan pendapat seperti itu adalah sebuah kekufuran. Sebab masalah Iman kepada Allah dan RasuINya lebih penting daripada masalah Imamah. Hal itu sudah sangat diketahui dalam Dinul Islam. Seorang kafir tidak akan menjadi seorang mu’min sampai ia bersyahadat Laa Ilaaha Illallah wa Anna Muhammadar Rasulullah. Atas dasar itulah Rasulullah memerangi kaum kafir.”
Ketiga. Menjadikan politik sebagai panglima da’wah.
Bukan
hanya penyimpangan dalam menerapkan politik Islam, tetapi juga
penyimpangan dalam metode da’wah dan beragama. Orang seperti ini,
seakan-akan hidup matinya untuk politik dan kekuasaan. Semua waktu,
tenaga, pikiran, bahkan kekayaannya hanya diarahkan kepada politik.
Bahkan ia mengajak orang lain dan seluruh manusia untuk seperti dirinya.
Keempat. Kurang memperhatikan kaidah ushul fiqh dalam bermanuver politik.
Seperti
lebih mengedepankan maslahat (padahal masih asumsi dan praduga),
dibanding menghindari mudharat yang telah jelas. Melalui lisan mereka
selalu terlontar ‘demi maslahat’, ‘karena maslahat’, dan seterusnya.
Kenapa mereka lupa terhadap kaidah Daf’ul Mafasid muqaddamun ‘ala Jalbil
Mashalih (menolak kerusakan harus diutamakan daripada mengambil
maslahat)
Kelima. Kurang hati-hati terhadap tipuan yang biasa ada dalam kondisi perpolitikan sekarang.
Sepertl
ngintrik, tipu menipu, money politic, aji mumpung, dan lain-lain.
Memang, sedikit atau banyak, manusia yang bermain politik di tengah
sistem politik yang kotor serta drakula politik yang sangat banyak, akan
terpengaruh dalam hidupnya yang tadinya memiliki idealisme dan niat
mulia. Getah politik pasti mengenainya. Itulah resikonya, kecua!i
orang-orang yang dijaga oleh Allah Azza wa Jalla.(Sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar